23 Juni 2025 - 14:44
Mengapa Israel Akhirnya Menyerang Iran

Tindakan Israel menyerang Iran sebenarnya bukanlah strategi jangka panjang yang cerdas, melainkan sebuah manuver putus asa yang dilandasi frustrasi dan rasa kehilangan kendali atas narasi konflik.

Pada Jumat dini hari (13/6), dunia dikejutkan oleh serangan Israel terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran di Teheran dan kota lainnya yang menewaskan diantaranya empat pimpinan tinggi militer dan enam ilmuan nuklir. Serangan ini jelas bukan insiden biasa. Ini adalah babak baru dalam ketegangan antara dua kekuatan utama di kawasan: Israel dan Iran. Tapi pertanyaannya—mengapa Israel memilih menyerang Iran secara langsung dan terbuka sekarang?

Serangan ini tidak bisa dilepaskan dari posisi Iran sebagai aktor utama dalam poros perlawanan (Axis of Resistance) yang selama ini menjadi mimpi buruk Israel. Iran bukan hanya sekutu ideologis, tetapi juga penyokong logistik dan militer bagi kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, milisi al-Hashd al-Shaabi di Irak, kelompok perlawanan di Yaman, hingga dukungan bagi Hamas dan Jihad Islam di Gaza. Dalam peta strategis Israel, keberadaan Iran adalah ancaman yang tidak pernah surut, dan bahkan semakin nyata  sejak meletusnya perlawanan bersenjata dari Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu.

Israel telah gagal menghancurkan Hamas dalam agresinya di Gaza yang berlangsung lebih dari satu setengah tahun. Tidak juga mampu melumpuhkan Hizbullah meski Sayid Hassan Nashrullah telah dilumpuhkan. Puluhan ribu warga sipil tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, namun tujuan politik dan militer Israel tidak tercapai. Dukungan internasional terhadap Israel pun tergerus drastis. Di tengah tekanan global yang meningkat dan isolasi moral yang menyesakkan, Israel melihat Iran sebagai simpul utama yang harus dihantam agar seluruh jaringan perlawanan bisa dilumpuhkan.

Tindakan Israel menyerang Iran sebenarnya bukanlah strategi jangka panjang yang cerdas, melainkan sebuah manuver putus asa yang dilandasi frustrasi dan rasa kehilangan kendali atas narasi konflik. Serangan ini dilakukan dalam konteks krisis politik dalam negeri yang juga semakin parah. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berada di bawah tekanan rakyatnya sendiri, menghadapi tuntutan pengunduran diri, dan kehilangan legitimasi di mata dunia. Dalam kondisi seperti ini, serangan terhadap Iran bisa dibaca sebagai upaya mengalihkan perhatian publik dan menyatukan kembali dukungan dalam negeri dengan membungkus tindakan agresi sebagai "misi penyelamatan nasional".

Namun, Israel tak berhenti di situ. Untuk melegitimasi aksinya, Israel menggunakan narasi yang selama ini dijual ke dunia internasional: Iran adalah ancaman nuklir. Meskipun belum ada bukti konklusif bahwa Iran telah mengembangkan senjata nuklir untuk tujuan militer, Israel berkali-kali memanfaatkan isu ini sebagai dalih untuk mendapatkan simpati dan dukungan dunia, khususnya dari Barat. Dengan membingkai serangan sebagai tindakan “preventif”, Israel berusaha menggiring opini bahwa dunia akan lebih aman tanpa Iran yang kuat.

Faktanya, ketakutan Israel terhadap Iran tidak berhenti pada soal nuklir. Ketakutan terbesar Israel adalah bahwa keberadaan Iran secara ideologis dan politik mengganggu hegemoni dan impian jangka panjang Israel untuk menjadi satu-satunya kekuatan dominan di kawasan. Iran, dengan segala keterbatasannya akibat sanksi ekonomi dan tekanan politik, tetap konsisten dalam satu hal: membela Palestina. Iran adalah satu dari sedikit negara yang secara terbuka, tegas, dan vokal menyebut Israel sebagai entitas ilegal dan tidak sah di tanah Palestina. Iran tidak hanya mengutuk, tetapi juga bertindak: mendanai, melatih, dan menyuplai kekuatan militer bagi kelompok-kelompok perlawanan.

Konsistensi ini yang membuat Iran berbeda dari banyak negara Islam lainnya, khususnya di Timur Tengah. Di saat sebagian pemimpin Arab melakukan normalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords dan inisiatif-inisiatif serupa, Iran berdiri di garis berlawanan. Iran adalah penghalang utama proyek Israel untuk menciptakan Timur Tengah “baru” yang terintegrasi secara ekonomi, politik, dan militer di bawah naungan Tel Aviv dan Washington. Maka, menjatuhkan Iran bukan sekadar urusan militer, melainkan proyek besar untuk membuka jalan bagi normalisasi total antara Israel dan dunia Islam.

Israel paham betul: selama Iran masih berdiri dan terus menyuarakan perlawanan, proyek normalisasi tidak akan pernah benar-benar aman. Bahkan, Iran bisa menjadi inspirasi dan titik temu bagi gerakan resistensi yang muncul dari berbagai negara. Itulah sebabnya serangan ke Iran dilakukan—untuk mematahkan simbol perlawanan dan menyampaikan pesan: tidak ada tempat bagi siapa pun yang menentang Israel di Timur Tengah.

Namun, serangan ini justru menjadi bumerang. Balasan Iran dalam operasi bersandi “Wada’ al-Sadiq 3” menunjukkan bahwa Israel telah memicu kekuatan yang selama ini hanya menahan diri. Iran menghujani wilayah Israel dengan ratusan rudal dan drone dalam skala serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konflik keduanya. Dunia pun menyaksikan bahwa Iran bukanlah target yang bisa diserang tanpa konsekuensi.

Ironisnya, reaksi banyak pimpinan negara terhadap serangan balasan Iran jauh lebih cepat dan lantang dibandingkan terhadap agresi Israel selama satu setengah tahun terakhir terakhir di Gaza. Ketika puluhan ribu warga Palestina terbunuh, pemimpin-pemimpin dunia diam. Tapi ketika Israel dihantam sebagai akibat dari tindakannya sendiri, seruan gencatan senjata dan kecaman langsung mengalir dari berbagai ibu kota dunia. Inilah wajah para pemimpin dunia hari ini: ketika penindas memukul, dianggap wajar; tapi ketika yang tertindas membalas, dianggap ancaman global.

Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa serangan Israel terhadap Iran bukanlah bentuk kekuatan, melainkan tanda kepanikan dan krisis eksistensial. Israel kini berada dalam dilema besar: jika terus melawan Iran, ia menghadapi kemungkinan perang regional yang luas. Namun jika mundur, proyek hegemoninya akan runtuh, dan dominasi politiknya di Timur Tengah mulai dipertanyakan, bahkan oleh sekutunya sendiri.

Ismail Amin

Mahasiswa S3 Universitas Internasional Al-Mustafa Iran

Ketua Umum Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS) - Iran 2023-2025

Your Comment

You are replying to: .
captcha